Sunday, March 04, 2007

Tragedi atau Parodi?

Suatu sistem pemerintahan yang baik, adalah melihat suatu kebutuhan
masyarakat jangka pendek dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk masa
depan atau jangka panjang sesuai dengan kemampuan pemerintah dan rakyatnya
sendiri. Aturan sudah berhamburan keluar dari yang namanya wakil rakyat dan
eksekutif. Ide baik banyak bermunculan. Akan tetapi, mengapa yang disebut
negara Indonesia tidak dapat maju? Yang maju hanya perut sebagian orang,
bahkan jika dibandingkan dengan 200jt rakyat Indonesia (apakah tetap sekian
atau tidak, sudah kurang mengetahui karena sensus penduduk sudah tidak
digembar-gemborkan), yang perutnya maju karena kenyang) tidak lebih dari 0,1
%.

Permasalahan yang terjadi selalu sama dan terulang, yaitu mencari kambing
hitam. Yang selalu terjadi, jika ada masalah maka bukan penyelesaiannya
tetapi siapa atau apa yang dapat dijadikan kambing hitam? Diambil saja
contoh paling baru, yaitu banjir di kota Jakarta. Yah... Jakarta. Ibukota
negara besar yang kata orang lempar tongkat ke tanah maka akan tumbuh jadi
pohon berbuah lebat. Yah.. sekali lagi.

Jakarta tempo hari adalah sebuah parodi yang sungguh tidak dan sangat tidak
lucu. Lihat saja, banjir terjadi di hampir 70% wilayah daratan ibu kota dan
dengan lantang bahwa banjir besar biasa terjadi dalam siklus 5 tahunan. Ini
sungguh lelucon yang sangat tidak lucu. Jika terjadi setiap 5 tahun, lalu
apa tindakan sebaiknya untuk mengantisipasi bukan malah menyalahkan alam.
Alam telah berubah karena ulah manusia juga. Mari kita runut hingga ke
belakang.

Jakarta dibelah oleh belasan sungai besar dan kecil serta telah terdapat
jalur khusus pengendali banjir. Tetapi mengapa tetap banjir? Saat awal
Januari 2007, memang hujan terus turun tiada henti dengan curah hujan yang
cukup tinggi, baik di ibukota sendiri maupun di kota Bogor sebagai sumber
banyak titik mata air sungai-sungai di Jakarta. Air mengalir tiada bermata,
turun dan turun hingga titik yang paling rendah. Kemudian bergulir lagi,
memasuki selokan. Selokan kemudian masuk ke kali kecil dan dari kali kecil
masuk ke sungai. Trilyunan butir air turun dari langit membasahi bumi,
kemudian bergabung dan dipecah menjadi ratusan selokan. Dari ratusan selokan
tersebut masuk ke puluhan kali kecil dan dari kali kecil masuk ke belasan
sungai yang ada.

Itu adalah sesuatu yang ideal. Faktanya adalah, trilyunan butir air yang
jatuh membasahi bumi ternyata tidak semuanya masuk ke selokan karena selokan
sudah buntu. Mau kemana lagi butiran air tersebut lari? Tidak lain dan
tidak, adalah ke permukaan tanah datar yang ada. Dan trilyunan butir air
terus berjatuhan seakan sedang mengisi bak mandi hingga penuh. Dan saat
penuh tidak ada selokan yang berfungsi, maka yang terjadi air akan luber
naik ke badan jalan. Dan dari badan jalan air akan terus mencari titik
terendah. Jika tidak ketemu, jelas permukaan air akan terus naik dan naik
dan naik hingga permukaan air tertinggi akan menemukan jalan lain ke selokan
yang masih berfungsi. Ternyata selokan yang masih berfungsi juga menerima
curahan dari selokan buntu lainnya sehingga bilyunan butir air yang
berkumpul tersebut malah "reuni" dan menjadi kolam raksasa seperti bak mandi
yang diisi hingga luber. Permukaan air meningkat hingga langsung bertemu
dengan kali kecil. Permukaan air yang telah tinggi kemudian terjaga
ketinggiannya saat kali kecil tersebut menerima luberan, akan tetapi kali
kecil tersebut juga menerima "order" diluar angkutan air, yaitu angkutan
sampah. Dan ini membuat kali kecil menjadi tersumbat hingga permukaan air
menjadi lebih tinggi lagi hingga akhirnya bertemu sungai.

Dan ternyata, sungai pun telah penuh dengan sampah, sehingga dasar sungai
menjadi lebih tinggi dari seharusnya dan hal ini membuat kapasitas sungai
menjadi rendah sehingga air yang telah tinggi tidak terangkut dengan baik.
Air pun luber ke sisi sungai dan pada akhirnya membuat banjir.

Jadi, apa yang terjadi dan apa yang menyebabkan banjir sebenarnya? Curah
hujan yang tinggi atau sampah?

No comments: