Sunday, July 02, 2006

Berkendara di Jakarta

Di Jakarta, sebagai ibukota RI, kebutuhan akan kendaraan yang irit (sepeda motor adalah salah satu cara terbaik untuk masalah ini dengan harga yang rendah serta dapat dipergunakan oleh semua orang) meningkat dengan cukup drastis sesuai dengan pendapatan yang masih belum cukup merata dan pendapatan tersebut juga mulai tergerus oleh kebutuhan-kebutuhan yang lain. Dan akibat kebutuhan akan kendaraan jenis tersebut cukup meningkat, produsen juga meningkatkan penjualannya sehingga produksi sepeda motor di Indonesia “meledak”. Akan tetapi, peningkatan tersebut kemudian beriringan dengan meningkatnya jumlah kecelakaan di jalan raya, konflik antar pengguna, dan lain sebagainya. Mengapa??

Karena pemerintah yang ada saat ini, khususnya instansi yang terkait dengan masalah lalu lintas menjadi sangat lembek. Apapun kejadian yang ada kemudian ditolerir. Dan itu jika dirunut dari masalahnya adalah pemberian Driving License (SIM) yang terlalu dipermudah dan sangat murah. Seharusnya sebagai Surat Izin, SIM ini khususnya SIM C (karena banyak peminatnya dimana juga sangat banyak terjadi kecelakaan) harusnya melalui pemeriksaan yang sangat ketat termasuk dengan harga yang mahal. Harga mahal bukan untuk dikorupsi atau dijadikan “bancakan” politik instansi tersebut karena harus masuk ke dalam kas Negara. Harga mahal untuk dijadikan semacam rintangan agar masyarakat atau orang-orang yang memang tidak mampu secara psikologis untuk mengendarai kendaraan tidak boleh mendapatkan Izin. Tapi yang ada sekarang adalah semua orang bisa mendapatkan SIM tersebut.

Para pejabat bisa katakana bahwa pelanggaran lalu lintas banyak terjadi pada pengendara sepeda motor, namun mereka tidak memahami akar permasalahannya (atau memahami namun tidak mau bertindak karena adanya konflik kepentingan ~ Conflict of Interest ? Who know ?)

Disamping para pejabat instansi yang terkait, adalah orang tua yang harusnya menjadi tauladan bagi anak-anaknya. Banyak terlihat bahwa untuk memanjakan anak-anaknya, orang tua membelikan mereka sepeda motor, padahal secara teori umur tidak masuk dalam orang yang mampu mengendalikan emosi dalam berkendara.

Saya pernah mengalami konflik dengan pengendara sepeda motor, dimana kendaraan tua saya di serempet oleh sepeda motor dan mengakibatkan pengendara tersebut jatuh. Padahal jika dirunut dari peristiwanya, pengendara tersebut memaksakan kehendaknya untuk masuk ke dalam situasi dimana sebenarnya sudah tidak memungkinkan lagi, yaitu kepepet antara 2 kendaraan. Mungkin pemikirannya adalah : “Kan saya mau lewat dan saya naik sepeda motor, pasti pengendara mobil harus ngalah”. Yang menjadi masalah adalah kendaraan saya sudah tidak dapat bergerak menghindar karena juga ada pengendara sepeda motor lainnya pada jalur dan situasi yang tepat, sehingga jika saya menghindar jelas pasti harus menabrak sepeda motor lainnya. Nah, suatu hal lucu (sebenarnya tidak lucu karena menyangkut psikologis) terjadi yaitu si pengendara motor bangun dan langsung mau memukul saya sambil kata-kata binatang keluar dari mulutnya. Jika saya emosi yang ada kami pasti berkelahi di tengah jalan, namun saya memilih untuk menahan emosi dan langsung membekuk dirinya. Dan setelah saya telusuri lebih lanjut mengenai dirinya, ternyata dia masih kelas 2 SMA dimana seharusnya secara teori tidak boleh mendapatkan SIM karena belum cukup umur, dan dengan melihat perilaku dirinya, harusnya juga tidak diperbolehkan.

Kasus lain lagi adalah pengendara sepeda motor pasti cenderung untuk melanggar lalu lintas, terutama Traffic Light. Kenapa? Saya melihat sendiri, bagaimana mereka dengan perlahan-lahan sambil melirik kiri kanan langsung tancap gas padahal belum ada haknya untuk lewat dari lampu yang menyala merah. Dan saya melihat sendiri di beberapa tempat, pengendara seperti itu mendapatkan ganjaran bukan berupa tilang namun langsung merapat ke rumah sakit karena tabrak lari. Mereka langsung berjalan karena merasa perempatan sepi dan tanpa mereka sadari ada kendaraan lain (mobil atau bus atau bahkan sepeda motor lainnya dari arah traffic yang lain) sedang melaju kencang, dan terjadilah tabrakan langsung. Kalau sudah begini, jelas sekali (menurut saya) yang salah adalah pengendara motor pelanggar lalu lintas, dan si pengendara tersebut harusnya tidak berhak untuk mendapatkan ganti rugi baik secara materiil maupun moril, bahkan harusnya ditindak pidana karena dirinya membahayakan orang lain. Apa akibatnya jika yang terjadi dia bukan ditabrak, tapi karena pengendara lain kaget melihat adanya pelanggar tersebut, kemudian membanting arah kendaraannya dan menabrak warung penuh orang?

Berarti apa yang salah? Sistem lalu lintas, orang atau memang tiada yang salah dalam hal ini? Mungkin dapat menjadi pandangan tambahan.

No comments: